Jika sudah membahas soal mimpi, pasti tidak akan ada
habisnya. Banyak orang yang mencari info untuk menerjemahkan arti mimpi mereka.
Ada beberapa orang yang bilang, mimpi adalah komunikasi antara tubuh, pikiran
dan jiwa kita. sebenarnya sepanjang waktu kita bermimpi meski saat kita lagi
bangun, cuma proses itu berlangsung di alam bawah sadar kita. Ada beberapa
fakta mengenai mimpi.
 1.Rangsangan dari luar mempengaruhi mimpi kita
Seperti misalnya waktu itu saya bermimpi sedang bermain di
bawah hujan, lama-lama dingin dari airnya benar-benar terasa nyata. Akhirnya saya
bangun dan tersadar ternyata saya tidur dengan jendela terbuka dan malam itu
hujan sangat deras sampai muka saya terkena air.
 2.Saat bermimpi tubuhmu akan lumpuh
Hal ini terjadi untuk mencegah supaya tubuh kita gak
bergerak-gerak mengikuti “alur cerita” mimpi kita. Ada hormon yg dihasilkan
saat kita tidur yg membuat saraf mengirimkan pesan ke tulang belakang
menyebabkan tubuh kita menjadi rileks dan lama-2 lumpuh. 
3.Kita hanya memimpikan apa yang kita ketahui
Kadang-kadang kita bermimpi tentang seseorang atau
lingkungan yang kita tidka kenal. Tapi sebenarnya,kita tidak mungkin bermimpi
tentang seseorang atau lingkungan yang tidak kita kenal karena otak tidak punya
kemampuan untuk menciptakan itu semua. Jadi kita pasti kenal tentang semua yang
di mimpi kita hanya saja otak tidak mampu untuk mengingatnya.
 4.Mimpi itu tidak seperti apa yang terlihat
Apa yg kita lihat dalam mimpi sebenernya merupakan simbolisasi
dari hal lain. Otak kita kreatif saat kita tidur, dia akan menggali database
memori kita sedemikan dalamnya sampai sering kita sendiri takjub dengan mimpi
aneh kita. Bagaikan puisi mimpi itu merupakan penggambaran simbolisasi yg
sangat dalam. Itulah sebab mengapa banyak orang yg tertarik dengan buku tafsir
mimpi
5.Tidak semua orang mimpinya berwarna.
Menurut penelitian 12% orang normal mimpinya selalu
hitam-putih lainnya mimpinya bisa full color.
 6. Mimpi buruk yang dialami bayi
Bayi tidak bermimpi mengenai dirinya sampai sekitar umur 3
tahun. Tapi sejak umur 3 sampai 8 tahun mereka akan mendapatkan mimpi buruk yg
jauh lebih sering daripada orang dewasa. Itu jadi jawaban dari kenapa anak
kecil sering menangis sesaat setelah terbangun dari tidurnya
Sebuah
 mimpi adalah deretan pemikiran, citra, suara atau emosi yang dialami 
pikiran saat tidur (American Heritage Dictionary, 2009). Isi dan fungsi 
mimpi tidak dipahami sepenuhnya walau ia telah menjadi spekulasi dan 
minat sepanjang sejarah. Studi ilmiah mimpi disebut oneirologi. 
Teknologi untuk mempelajari mimpi baru saja berkembang beberapa dekade 
belakangan.
Makna kultural mimpi
 
Mimpi Yakub tentang tangga malaikat
 
Sepanjang
 sejarah, orang telah mencari makna mimpi atau wahyu lewat mimpi 
(Lewis). Mimpi telah dijelaskan secara fisiologis sebagai respon pada 
proses syaraf pada saat tidur, secara psikologis sebagai cerminan bawah 
sadar, dan secara spiritual sebagai pesan dari tuhan, prediksi masa 
depan atau berasal dari jiwa, karena simbologi adalah bahasa jiwa. 
Banyak kebudayaan melaksanakan inkubasi mimpi, dengan tujuan memanen 
mimpi yang prophetik atau mengandung pesan dari Tuhan.
Yahudi
 punya upacara tradisional yang disebut”Hatavat Halom” – yang berarti 
membuat mimpi menjadi baik. Lewat ritual ini mimpi yang mengganggu dapat
 diubah untuk memberikan penafsiran yang positif oleh seorang rabbi atau
 sebuah dewan rabbi (Wein, 2006).
Neurologi Bermimpi
 
EEG menunjukkan gelombang otak saat tidur REM
 
Tidak
 ada definisi yang diterima secara universal mengenai definisi bermimpi.
 Tahun 1952, Eugene Aserinsky menemukan dan mendefinisikan tidur REM 
saat bekerja dalam pembedahan penasehat PhDnya. Aserinsky menemukan 
kalau mata orang yang tidur bergerak di bawah kelopak matanya, kemudian 
ia menggunakan mesin poligraf untuk mencatat gelombang otak mereka saat 
periode ini. Dalam satu sesi, ia membangunkan subjek yang menangis dan 
mengigau saat REM dan membenarkan kecurigaannya kalau mimpi telah 
terjadi (Demend, 1966). Tahun 1953, Aserinsky dan penasehatnya 
menerbitkan studi terobosan dalam jurnal Science (Aserinsky dan 
Kleitman, 1953).
Pengamatan yang 
bertumpuk menunjukkan kalau mimpi erat kaitannya dengan tidur gerakan 
mata cepat (Rapid Eye Movement – REM), dimana sebuah 
elektroencephalogram menunjukkan aktivitas otak paling besar seperti 
saat sadar. Mimpi yang tidak di ingat oleh partisipan pada saat tidur 
non-REM secara normal lebih biasa dalam perbandingan (Dement dan 
Kleitmann, 1957). Pada sebuah rentang hidup umum, seorang manusia 
menghabiskan waktu enam tahun bermimpi (sekitar dua jam tiap malam). 
Sebagian besar mimpi hanya berlangsung 5 hingga 20 menit. Tidak 
diketahui dari daerah mana di otak mimpi berasal, bila ada satu asal 
usul mimpi atau apakah banyak bagian otak terlibat, atau apa tujuan 
mimpi bagi tubuh dan pikiran.
Pada 
saat tidur REM, pelepasan neurotransmitter tertentu sepenuhnya ditekan. 
Sebagai hasilnya, neuron motorik tidak terangsang, sebuah kondisi yang 
disebut atonia REM. Ini mencegah mimpi menghasilkan gerakan tubuh 
berbahaya.
Menurut sebuah laporan di 
jurnal Neuron, otak tikus menunjukkan bukti aktivitas rumit saat tidur, 
termasuk pengaktifan dalam ingatan deretan panjang aktivitas (Louie dan 
Matthew, 2001). Studi menunjukkan kalau beragam spesies mamalia dan 
burung mengalami REM saat tidur, dan mengikuti deretan kondisi tidur 
yang sama seperti manusia.
Walaupun 
kekuatannya untuk menjadi liar, merangsang, menakutkan atau mengesankan,
 mimpi sering diabaikan dalam model utama psikologi kognitif (Barret dan
 McNamara, 2007). Sebagai metode pemeriksaan digantikan dengan metode 
objektif yang lebih sadar sekdiri dalam sains sosial tahun 1930an dan 
1940an, studi mimpi dibuang dari literatur ilmiah. Mimpi tidak secara 
langsung dapat diamati oleh pelaku eksperimen tidak pula mimpi yang 
dilaporkan oleh subjek dapat dihandalkan, akibat mangsa masalah 
penyimpangan akibat mengingat tertunda, bila ingat sama sekali. Menurut 
Sigmund Freud, mimpi lebih sering dilupakan sepenuhnya, mungkin karena 
karakter terlarangnya. Bersama-sama, masalah ini tampak membuatnya 
berada di luar kajian sains.
Penemuan 
kalau mimpi terjadi terutama pada saat kondisi tidur yang terbedakan 
secara elektrofisiologis, tidur gerakan mata cepat (REM), yang dapat 
diidentifikasi lewat kriteria yang objektif, membawa kelahiran pada 
minat fenomena ini. Saat episode tidur REM dihitung durasinya dan subjek
 dibangunkan untuk melaporkan sebelum editing atau pelupaan utama dapat 
terjadi, ditemukan kalau subjek secara teliti sesuai jangka waktu mereka
 menimbang narasi mimpi saat tidur sebanding dengan panjang tidur REM 
yang mendahului bangun. Korelasi dekat tidur REM dan pengalaman mimpi 
ini menjadi dasar sederetan laporan pertama yang menjelaskan sifat 
mimpi: yaitu teratur setiap malam, ketimbang berupa aktivitas yang tidak
 beraturan, dan berfrekuensi tinggi dalam tiap periode tidur yang 
berlangsung pada selang teramalkan sekitar tiap 60 – 90 menit sepanjang 
rentang hidup manusia. Episode tidur REM dan mimpi yang menemaninya 
diperpanjang waktu malam, dengan episode pertama yang terpendek, sekitar
 10 – 12 menit, dan episode kedua dan ketiga meningkat hingga 15 – 20 
menit. Mimpi pada akhir malam dapat berlangsung sepanjang 15 menit, 
walau ini dapat dialami sebagai beberapa kisah yang berbeda karena 
interupsi sesaat yang mengganggu tidur saat malam berakhir. Laporan 
mimpi dapat dilaporkan dari subjek normal pada 50% kejadian saat 
terbangun pada akhir periode REM pertama. Tingkat pengingatan ini 
meningkat hingga sekitar 99% saat bangun dari periode REM terakhir dalam
 satu malam. Peningkatan dalam kemampuan mengingat ini tampaknya 
berhubungan dengan intensifikasi sepanjang malam dalam kejelasan 
pencitraan, warna dan emosi mimpi.
Teori Sintesis Aktivasi
Tahun
 1976 J. Allan Hobson dan Robert McCarley mengajukan sebuah teori baru 
yang merubah penelitian mimpi, menantang pandangan mimpi Freud 
sebelumnya sebagai keinginan bawah sadar untuk ditafsirkan. Teori 
sintesis aktivasi mengatakan bahwa pengalaman inderawi dibuat oleh 
korteks sebagai alat menafsirkan sinyal kacau dari pons. Mereka 
mengajukan kalau dalam mimpi REM, gelombang PGO 
(Ponto-Geniculo-Occipital) kolinergik naik merangsang struktur kortikal otak tengah
 dan depan, menghasilkan gerakan mata cepat. Otak depan yang teraktivasi
 kemudian mensintesa mimpi dari informasi yang dibuatnya secara 
internal. Mereka mengasumsikan kalau struktur yang sama yang 
menghasilkan tidur REM juga membangkitkan informasi inderawi. 
Penelitian
 Hobson tahun 1976 menyarankan kalau sinyal yang ditafsirkan sebagai 
mimpi berasal dari batang otak saat tidur REM. Walau begitu, penelitian 
oleh Mark Solms menunjukkan kalau mimpi dibangkitkan di otak depan, dan 
bahwa tidur REM dan bermimpi tidak berhubungan langsung (Solms, 2000). 
Saat bekerja dalam departemen bedah syaraf di Johannesburg dan London, 
Solms memiliki akses pada pasien dengan beragam cedera otak. Ia mulai 
menanyakan pasien mengenai mimpi mereka dan membenarkan kalau pasien 
dengan kerusakan di lobus parietal tidak dapat bermimpi; penemuan ini 
sejalan dengan teori Hobson tahun 1977. Walau begitu, Solms tidak 
menemukan kasus hilangnya mimpi dengan pasien yang mengalami kerusakan 
batang otak. Pengamatan ini memaksanya mempertanyakan teori Hobson yang 
menandai batang otak sebagai sumber sinyal yang ditafsirkan sebagai 
mimpi. Solms memandang gagasan bermimpi sebagai fungsi dari banyak 
struktur otak yang membenarkan teori mimpi Freud, gagasan yang mendapat 
kritik dari Hobson. Tahun 1978, Solms, bersama rekannya William Kauffman
 dan Edward Nadar, melakukan sdederetan studi pengaruh tumbukan cedera 
traumatis menggunakan beberapa spesies primata, khususnya monyet howler,
 untuk menyanggah postulat Hobson kalau batang otak berperan penting 
dalam patologi mimpi. Sayangnya, percobaan Solms terbukti tidak dapat 
disimpulkan, karena tingkat kematian yang tinggi berasosiasi dengan 
penggunaan paku tumbuk hidrolik pada kerusakan otak buatan dalam subjek 
uji berarti bahwa pool kandidat akhirnya terlalu kecil untuk memenuhi 
persyaratan metode ilmiah (Rock, 2004)
Teori Aktivasi Berkelanjutan
Menggabungkan
 hipotesis sintesis aktivasi Hobson dengan penemuan Solm, teori mimpi 
aktivasi berkelanjutan disajikal oleh Jie Zhang yang mengajukan kalau 
mimpi adalah hasil dari aktivasi dan sintesis otak; pada saat bersamaan,
 tidur REM dan bermimpi dikendalikan oleh mekanisme otak yang berbeda. 
Zhang berhipotesis kalau fungsi tidur adalah memproses, menyandikan dan 
mentransfer data dari ingatan sementara ke ingatan jangka panjang, walau
 tidak ada banyak bukti mendukung konsolidasi ini. Tidur NREM memproses 
ingatan terkait sadar (ingatan deklaratif), dan tidur REM memproses 
ingatan terkait tidak sadar.
Zhang 
beranggapan kalau saat tidur REM, bagian otak yang tidak sadar sibuk 
memproses ingatan prosedural; sementara itu, tingkat aktivasi dalam 
bagian sadar otak akan turun pada tingkat sangat rendah karena masukan 
dari inderawi yang pada dasarnya tidak terhubung lagi. Ini akan memicu 
mekanisme “aktivasi-berkelanjutan” untuk membangkitkan aliran data dari 
penyimpan ingatan untuk mengalir lewat bagian sadar otak. Zhang 
menyarankan kalau aktivasi otak mirip sinyal ini adalah penginduksi tiap
 mimpi. Ia mengajukan bahwa, dengan keterlibatan sistem berpikir 
asosiatif otak, bermimpi kemudian, menjaga dirinya sendiri dengan 
pemikiran pemimpi sendiri hingga pemasukan sinyal ingatan selanjutnya. 
Hal ini menjelaskan mengapa mimpi memiliki karakteristik kontinuitas 
(dalam sebuah mimpi) dan perubahan mendadak (antara dua mimpi) (Zhang, 
2004; 2005).
Mimpi sebagai perangsang ingatan jangka panjang
Eugen
 Tarnow menyarankan kalau mimpi adalah perangsangan pada ingatan jangka 
panjang yang selalu ada, bahkan pada saat sadar. Keanehan mimpi karena 
format ingatan jangka panjang, berdasarkan penemuan Penfield & 
Rasmussen bahwa rangsangan listrik pada korteks membangkitkan pengalaman
 yang sama dengan mimpi. Pada saat sadar, fungsi eksekutif menafsirkan 
ingatan jangka panjang konsisten dengan pemeriksaan realitas. Teori 
Tarnow adalah pengerjaan ulang teori mimpi Freud dimana ketidaksadaran 
Freud digantikan dengan sistem ingatan jangka panjang dan “Pekerjaan 
Mimpi” Freud menjelaskan struktur ingatan jangka panjang (Tarnow, 2003).
 
Lokasi hippocampus
 
Mimpi untuk memperkuat ingatan semantik
Studi
 tahun 2001 menunjukkan bukti bahwa lokasi ilogis, karakter dan aliran 
mimpi dapat membantu otak memperkuat keterhubungan dan keselarasan 
ingatan semantik. Kondisi ini dapat terjadi karena, saat tidur REM, 
aliran informasi antara hippocampus dan neokorteks berkurang (Stickgold 
et al, 2001). Meningkatnya level hormon stress kortisol cukup lama 
setelah tidur (sering saat tidur REM) menyebabkan menurunnya komunikasi 
ini. Satu tahap konsolidasi ingatan adalah pengkaitan ingatan yang jauh 
tapi berhubungan. Payne dan Nadal berhipotesis kalau ingatan ini 
kemudian di konsolidasikan menjadi sebuah narasi yang halus, sama dengan
 proses yang terjadi saat ingatan diciptakan waktu stress (Payne dan 
Nadel, 2004).
Mimpi untuk membuang sampah
Robert
 (1886), seorang ahli fisiologi dari Hamburg, adalah yang pertama kali 
berpendapat bahwa mimpi adalah sebuah kebutuhan dan bahwa ia memiliki 
fungsi untuk menghapus (a) kesan inderawi yang tidak sepenuhnya bekerja 
dan (b) gagasan yang tidak sepenuhnya berkembang sepanjang hari. Lewat 
mimpi, material yang tidak lengkap akan dibuang atau diperdalam dan 
dimasukkan kedalam ingatan. Gagasan Robert dikutip berulang kali oleh 
Freud dalam karyanya Traumdeutung. Hughlings Jackson (1911) memandang 
kalau mimpi bertindak untuk menyapu ingatan dan koneksi yang tidak perlu
 sepanjang hari. Hal ini direvisi tahun 1983 oleh teori ‘belajar mundur’
 Crick dan Mitchison, yang menyatakan bahwa mimpi seperti operasi 
membersihkan komputer saat mereka offline, menghilangkan noda parasit 
dan “sampah” lainnya dari pikiran saat tidur (Evans dan Newman, 1964; 
Crick dan Mitchison, 1983). Walau begitu, pandangan berlawanan bahwa 
mimpi memiliki sebuah fungsi konsolidasi ingatan dan penanganan 
informasi (Hennevin dan Leconte, 1971) juga umum diterima. Mimpi adalah 
hasil dari penembakan spontan dari pola syaraf saat otak melakukan 
konsolidasi ingatan saat tidur.
Mimpi sebagai resonansi dalam rangkaian syaraf
Pada
 saat tidur, mata tertutup, sehingga otak pada beberapa derajat menjadi 
terisolasi dari dunia luar. Lebih jauh semua sinyal dari indera (kecuali
 penciuman) harus melewati thalamus sebelum mencapai korteks otak, dan 
pada saat tidur aktivitas thalamus terhenti (Rey et al, 2007). Ini 
berarti kalah otak terutama bekerja dengan sinyal dari dirinya sendiri. 
Sebuah fenomena yang terkenal baik dalam sistem fisika dinamis dimana 
tingkat masukan dan keluaran dari sistem rendah adalah bahwa ayunan 
membuat pola resonansi spontan terjadi. Karenanya, mimpi mungkin 
merupakan akibat sederhana dari ayunan syaraf.
Psikologi tidur dan mimpi
Mimpi untuk menguji dan memilih skema mental
Coutts
 (2008) berhipotesis kalau mimpi memodifikasi dan menguji skema mental 
saat tidur dalam sebuah proses yang ia namakan seleksi emosional, dan 
bahwa hanya modifikasi skema yang tampak adaptif secara emosional saat 
uji mimpi dipilih untuk retensi, sementara yang tampaknya maladaptif 
ditinggalkan atau dimodifikasi lebih jauh dan diuji. Alfred Adler 
berpendapat bahwa mimpi sering merupakan persiapan emosional untuk 
memecahkan masalah, membersihkan individu dari akal sehat menuju logika 
pribadi. Perasaan mimpi residual dapat memperkuat ataupun menginhibasi 
tindakan yang di kontemplasikan.
Teori psikologi evolusi tentang mimpi
Psikolog
 evolusioner percaya kalau mimpi merupakan semacam fungsi adaptif untuk 
bertahan hidup. Deirdre Barrett berpendapat kalau mimpi hanyalah 
“berpikir dalam kondisi biokimia yang berbeda” dan percaya kalau orang 
terus bekerja pada semua masalah yang sama – pribadi dan objektif – 
dalam keadaan tersebut.” (Barret, 2007). Penelitiannya menemukan kalau 
apapun – matematika, komposisi musik, masalah bisnis – dapat 
diselesaikan lewat mimpi, namun dua daerah yang khususnya membantu 
adalah 1) apapun yang mengandung visualisasi yang jelas dalam solusinya,
 apakah itu masalah desain seni atau penemuan teknologi 3 dimensi dan 2)
 masalah dimana solusinya berada dalam “berpikir di luar kotak” – yaitu 
orang tersebut terjebak karena kesepakatan umum dalam mendekati masalah 
tersebut salah (Barret, 2001; 1993). Dalam teori terkait, yang di 
istilahkan oleh Mark Blechner dengan “Darwinisme Oneirik,” mimpi dilihat
 sebagai penciptaan gagasan baru lewat pembuatan mutasi pemikiran secara
 acak. Sebagiannya ditolak oleh pikiran karena tidak berguna, sementara 
yang lain dilihat berguna dan dipertahankan (Blechner, 2001). Psikolog 
Finlandia Antti Revonsuo berpendapat bahwa mimpi telah ber evolusi 
sebagai “simulasi ancaman” secara eksklusif.
Teori Psikosomatik
Mimpi
 adalah hasil dari “imajinasi terdisosiasi”, yang terdisosiasi dari diri
 yang sadar dan menarik material dari ingatan inderawi untuk simulasi, 
dengan umpan balik inderawi dihasilkan dalam halusinasi. Dengan 
mensimulasi sinyal inderawi untuk mengendalikan syaraf otonom, mimpi 
dapat mempengaruhi interaksi pikiran – tubuh. Dalam otak dan tulang 
belakang, “syaraf penyembuh” otonom, yang dapat memperluas pembuluh 
darah, berhubungan dengan syaraf rasa sakit dan tekanan. Syaraf ini 
terkelompok menjadi banyak rantai yang disebut meridian dalam pengobatan
 china. Saat bermimpi, tubuh juga menggunakan meridian reaksi berantai 
untuk memperbaiki tubuh dan membantunya tumbuh dan berkembang dengan 
mengirimkan sinyal kompresi – gerakan sangat intensif saat tingkat enzim
 pertumbuhan bertambah (Tsai, 1995).
Hipotesis lain mengenai mimpi
Ada banyak lagi hipotesis mengenai fungsi mimpi, antara lain: (Cartwjustify, 1993)
- Mimpi
 memungkinkan bagian pikiran lain yang tertekan untuk dipuaskan lewat 
fantasi sementara tetap membiarkan pikiran sadar dari berpikir apa yang 
tiba-tiba menyebabkan seseorang tersadar dari shock (Veldfelt, 1999).
- Freud
 berpendapat bahwa mimpi buruk membuat otak belajar mengambil kendali 
pada emosi yang dihasilkan dari pengalaman yang menekan (Cartwjustify, 
1993).
- Jung berpendapat kalau mimpi dapat menyumbang pada sikap satu sisi dalam kesadaran terjaga (Jung, 1948).
- Ferenczi (1913) berpendapat bahwa mimpi, saat diceritakan, dapat mengkomunikasikan sesuatu yang tidak dikatakan secara langsung.
- Mimpi mengatur mood (Kramer, 1993).
- Hartmann
 (1995) mengatakan mimpi dapat berfungsi seperti psikoterapi, dengan 
“membuat koneksi di tempat yang aman” dan memungkinkan pemimpi untuk 
mengintegrasikan pemikiran yang mungkin terdisosiasi saat ia sadar.
- Penelitian
 yang lebih baru oleh psikolog Joe Griffin, mengikuti tinjauan data dua 
belas tahun dari semua laboratorium tidur utama, membawa pada perumusaan
 teori pemenuhan harapan mimpi, yang menyarankan kalau mimpi secara 
metafora melengkapi pola harapan emosional dalam sistem syaraf otonom dan menurunkan tingkat stress mamalia (Griffin, 1997; Griffin dan Tyrrel, 2004)
Isi mimpi
Dari
 tahun 1940an hingga 1985, Calvin S. Hall mengumpulkan lebih dari 50 
ribu laporan mimpi di Western Reserve University. Tahun 1966 Hall dan 
Van De Castle menerbitkan The Content Analysis of Dreams dimana
 mereka menggariskan sistem penyandian untuk mempelajari 1000 laporan 
mimpi dari mahasiswa (Hall dan Van de Castle, 1966). Ditemukan bahwa 
orang di penjuru dunia mengimpikan sebagian besar hal yang sama. Laporan
 mimpi lengkap Hall secara publik tersedia di pertengahan 1990an oleh 
protégé Hall William Domhoff, untuk analisis berbeda lebih lanjut.
Pengalaman pribadi dari hari kemarin atau minggu lalu sering ditemukan dalam mimpi (Alain et al, 2003).
Emosi
Emosi
 yang paling umum di alami dalam mimpi adalah rasa takut. Emosi lain 
antara lain rasa sakit, rasa kesepian, rasa senang, rasa gembira, dan 
sebagainya. Emosi negatif lebih sering dirasakan daripada positif (Hall 
dan Van de Castle, 1966).
Tema Seksual
Analisa
 data Hall menunjukkan kalau mimpi seksual terjadi tidak lebih dari 10% 
kejadian dan lebih sering terjadi pada remaja awal dan pertengahan (Hall
 dan Van de Castle, 1966). Studi lain menunjukkan kalau 8% mimpi pria 
dan wanita memiliki muatan seksual (Zadra, 2007). Dalam beberapa kasus, 
mimpi seksual dapat menghasilkan orgasme atau emisi nokturnal. Hal ini 
umumnya dikenal sebagai mimpi basah (Badan Pusat Statistik, 2004).
Mimpi berulang
Sementara
 isi dari sebagian besar mimpi di impikan hanya sekali, banyak orang 
mengalami mimpi yang berulang – yaitu, narasi mimpi yang sama di alami 
dalam saat berbeda waktu tidur. Hingga 70% perempuan dan 65% laki-laki 
melaporkan mimpi mereka berulang.
Warna vs Hitam putih
Sedikit orang mengatakan kalau mimpi mereka hanya hitam putih (Schredl et al, 2004; Alleyne, 2008).
Penafsiran Mimpi
Mimpi
 secara historik digunakan untuk menyembuhkan (seperti dalam asclepieion
 yang ditemukan dalam kuil Asclepius Yunani Kuno) dan juga sebagai 
petunjuk atau wahyu. Beberapa suku Indian menggunakan penaklukkan visi 
sebagai ritual perjalanan, puasa dan berdoa hingga sebuah mimpi pemandu 
diperoleh, dan dibagikan pada suku lainnya saat mereka kembali (Webb, 
1995).
Pada akhir abad 19 dan awal 
abad 20, baik Sigmund Freud maupun Carl Jung mengatakan mimpi sebagai 
interaksi alam bawah sadar dan sadar. Mereka juga mengatakan kalau alam 
bawah sadar adalah kekuatan dominan dalam mimpi, dan dalam mimpi ia 
menunjukkan aktivitas mentalnya pada fakultas persepsi. Sementara Freud 
merasa kalau ada sebuah sensor aktif melawan alam bawah sadar bahkan 
saat tidur, Jung berpendapat kalau kualitas buruk mimpi adalah bahasa 
yang efisien, dibandingkan dengan puisi dan secara unik mampu 
mengungkapkan makna di baliknya.
Fritz
 Perls menyajikan teori mimpinya sebagai bagian holistik terapi Gestalt.
 Mimpi dipandang sebagai proyeksi dari bagian diri yang diabaikan, 
ditolak atau ditekan (Wegner et al, 2004). Jung berpendapat kalau orang 
dapat mempertimbangkan setiap orang di dalam mimpi sebagai satu aspek 
dari pemimpi, yang ia sebut pendekatan subjektif mimpi. Perls memperluas
 sudut pandang ini dengan mengatakan kalau bahkan benda tidak hidup 
dalam mimpi dapat mewakili aspek pemimpi. Pemimpi karenanya diminta 
membayangkan sebuah benda dalam mimpinya dan menjelaskannya, untuk 
membawa ke kesadaran karakteristik dari benda yang berkaitan dengan 
kepribadian pemimpi.
Hubungan dengan kondisi medis
Terdapat
 bukti kalau beberapa kondisi medis (umumnya hanya kondisi neurologis) 
dapat mempengaruhi mimpi. Sebagai contoh, orang menderita sinestesia 
tidak pernah melaporkan mimpi yang sepenuhnya hitam putih, dan sering 
kali sulit membayangkan bagaimana bermimpi secara hitam putih (Harrison,
 2001).
Terapi untuk mimpi buruk 
berulang (sering terkait dengan gangguan stress pasca trauma) dapat 
memuat membayangkan skenario alternatif yang dapat dimulai pada tiap 
langkah mimpi.
Mimpi dan psikosis
Sejumlah
 pemikir telah berkomentar pada kesamaan antara fenomenologi mimpi dan 
psikosis. Tampilan yang sama pada kedua keadaan adalah gangguan pikiran,
 efek melempeng atau ketidakpantasan (emosi), dan halusinasi. Diantara 
para filsuf, Immanuel Kant, misalnya, menulis kalau ‘orang gila adalah 
seorang pemimpi di saat bangun’ (La Barre, 1975). Arthur Schopenhauer 
mengatakan: ‘Sebuah mimpi adalah psikosis jangka pendek, dan sebuah 
psikosi adalah mimpi jangka panjang.’ (Ibid). Dalam bidang psikoanalisa,
 Sigmund Freud menulis: ‘Mimpi adalah sebuah psikosis’(Freud, 1940) dan 
Carl Jung: ‘Biarkan seorang pemimpi berjalan dan bertindak seperti orang
 yang sadar dan kita akan melihat gambaran klinis dari dementia praecox.’(Jung, 1909)
McCreery
 (1997, 2008) mencoba menjelaskan kesamaan ini dengan merujuk pada 
fakta, yang didokumentasikan oleh Oswald (1962), kalau tidur dapat 
muncul sebagai reaksi pada stress ekstrim dan rangsangan hyper. McCreery
 menambahkan bukti kalau psikotik adalah orang dengan kecenderungan 
terangsang hiper, dan menyarankan kalau hal ini membuat mereka rentan 
pada apa yang disebut oleh Oswald sebagai ‘tidur mikro’ saat sadar. Ia 
menekankan khususnya pada penemuan paradoksial dari Stevens dan 
Darbyshire (1958) dimana pasien yang menderita katatonia dapat 
dirangsang dari stupor mereka dengan menggunakan sedatif bukannya 
stimulan.
Griffin dan Tyrrell (2003a) 
melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa “schizophrenia adalah 
realitas sadar yang diproses dengan otak yang bermimpi.”(Griffin dan 
Tyrell, 2003b)
Fenomena lain yang berhubungan
Mimpi Lusid
Bermimpi
 lusid adalah persepsi sadar dari keadaan seseorang saat bermimpi. Dalam
 keadaan ini seseorang biasanya memiliki kendali pada karakter dan 
lingkungan dari mimpi dan juga tindakan pemimpi itu sendiri dalam mimpi.
 Kemunculan mimpi lusid telah dibenarkan secara ilmiah (Watanabe, 2003).
Oneironaut adalah istilah yang biasanya dipakai bagi mereka yang bermimpi lusid.
Mimpi transgresi tanpa pikiran
Mimpi
 transgresi tanpa pikiran (Dreams of absent-minded transgression – DAMT)
 adalah mimpi dimana sang pemimpi tanpa pikiran melakukan tindakan yang 
ia coba hentikan (salah satu contoh klasik adalah seorang yang berhenti 
merokok bermimpi menyalakan rokok). Subjek yang mengalami DAMT 
melaporkan bangun dengan perasaan bersalah. Salah satu studi menemukan 
hubungan positif antara memiliki mimpi ini dengan berhasilnya 
menghentikan perilaku (Hajek dan Belcher, 1991).
Bermimpi dan “dunia nyata”
Di
 waktu malam mungkin ada banyak stimuli luar yang membombardir indera, 
namun pikiran sering menafsirkan stimulus dan menjadikannya bagian dari 
sebuah mimpi untuk memastikan tidur yang berkelanjutan (Antrobus, 1993).
 Inkorporasi mimpi adalah sebuah fenomena dimana sebuah sensasi aktual, 
seperti suara lingkungan terindera di dalam mimpi seperti mendengarkan 
telepon berbunyi dalam mimpi sementara ia memang berdering di dunia 
nyata, atau bermimpi buang air kecil saat ia memang buang air kecil di 
ranjang. Pikiran dapat, walau begitu, membangunkan individual bila 
mereka dalam bahaya atau bila terlatih untuk merespon suara tertentu, 
seperti tangisan bayi. Kecuali dalam kasus mimpi lusid, orang bermimpi 
tanpa sadar kalau mereka bermimpi. Beberapa filsuf menyimpulkan kalau 
apa yang kita pikir sebagai “dunia nyata” bisa jadi atau memang sebuah 
ilusi (sebuah gagasan yang dikenal sebagai hipotesis skeptis ontologi). 
Terdapat lukisan terkenal karya Salvador Dalí yang menggambarkan konsep 
ini, berjudul “Dream Caused by the Flight of a Bee around a Pomegranate a
 Second Before Awakening” (1944). Gagasan pertama dalam hal ini dalam 
sejarah berasal dari Zhuangzi, dan juga di bahas dalam Hinduisme; 
Buddhisme membuat penggunaan ekstensif argumen ini dalam kitab-kitabnya 
(Kher, 1992). Ia secara resmi diperkenalkan dalam filsafat barat oleh 
Descartes pada abad ke-17 dalam karyanya Meditations on First 
Philosophy. Stimulus, biasanya dalam bentuk auditori, menjadi bagian 
dari mimpi, pada gilirannya membangunkan sang pemimpi. Istilah 
“inkorporasi mimpi” juga digunakan dalam penelitian yang memeriksa 
derajat dimana peristiwa siang sebelumnya menjadi unsur dari mimpi. 
Studi terbaru menunjukkan kalau peristiwa di hari sebelumnya, dan 
seminggu sebelumnya, memiliki pengaruh terbesar (Alain et al, 2003).
Mengingat mimpi
Ingatan
 tentang mimpi sangat tidak dapat dihandalkan, walau ia merupakan sebuah
 keahlian yang dapat dilatih. Mimpi biasanya dapat diingat jika 
seseorang tersadar saat bermimpi. Perempuan cenderung memiliki ingatan 
mimpi lebih banyak daripada laki-laki. Mimpi yang sulit diingat dapat 
dicirikan oleh pengaruh dan faktor yang relatif kecil seperti rangsangan
 dan interferensi yang berperan dalam mengingat mimpi. Seringkali, 
sebuah mimpi dapat diingat akibat melihat atau mendengar pemicu atau 
stimulus acak. Sebuah jurnal mimpi dapat dipakai untuk membantu 
mengingat mimpi, untuk tujuan psikoterapi atau hiburan semata. Bagi 
sebagian orang, citra atau sensasi yang kabur dari mimpi malam 
sebelumnya kadang secara spontan dirasakan di saat tertidur. Walau 
begitu mereka biasanya terlalu kabur untuk memungkinkan diingat. Paling 
tidak 95% dari semua mimpi tidak diingat. Kimiawi otak khusus yang 
diperlukan untuk merubah ingatan jangka pendek menjadi jangka panjang 
ditekan saat tidur REM. Kecuali sebuah mimpi tersebut terang dan anda 
terbangun segera setelahnya, isi dari mimpi tidak akan dapat diingat 
(Hobson dan McCarly, 1977).
Déjà vu
Salah
 satu teori déjà vu menisbahkan perasaan memiliki atau mengalami sesuatu
 yang sebelumnya sudah pernah dilakukan pada pengalaman bermimpi dalam 
situasi atau lokasi yang sama, dan melupakannya hingga ia secara 
misterius mengingatkan pada situasi atau lokasi saat sadar (Lohff, 2004)
Prakognisi tampak
Menurut
 survey, adalah umum bagi orang untuk merasakan bahwa mimpi mereka 
meramalkan peristiwa yang akan datang dalam hidupnya (Hines, 2003). 
Psikolog menjelaskan pengalaman ini dalam istilah bias ingatan, yaitu 
sebuah ingatan selektif untuk prediksi akurat dan ingatan tersimpangkan 
sehingga mimpi tersebut sesuai dengan pengalaman hidup (Ibid). Sifat 
multi faset dari mimpi membuatnya mudah menemukan koneksi antara isi 
mimpi dan peristiwa nyata (Gilovich, 1991).
Dalam
 satu percobaan, subjek diminta menuliskan mimpi mereka dalam diary. Hal
 ini mencegah efek ingatan selektif, dan mimpi-mimpi tidak lagi terlihat
 akurat meramalkan masa depan (Alcock, 1981). Percobaan lain memberi 
subjek sebuah diary palsu dari seorang siswa yang bermimpi prakognitif 
tampak. Diari ini menceritakan peristiwa dari kehidupan seseorang, dan 
juga beberapa mimpi prediktif dan beberapa mimpi non prediktif. Saat 
subjek diminta mengingat mimpi yang telah mereka baca, mereka mengingat 
lebih banyak prediksi yang sukses daripada prediksi yang gagal (Madey 
dan Gilovich, 1993).
Kebudayaan populer
Kebudayaan
 populer modern sering menganggap mimpi, seperti Freud, sebagai ekspresi
 rasa takut dan keinginan terdalam pemimpi (Van Riper dan Bowdoin, 
2002). Dalam film seperti Spellbound (1945) atau The Manchurian Candidate (1962), protagonis harus mengekstrak petunjuk vital dari mimpi surreal (Ibid).
Sebagian
 besar mimpi dalam kebudayaan populer, walau begitu, tidak simbolik, 
namun langsung dan merupakan gambaran realistik dari rasa takut dan 
keinginan pemimpi (Ibid). Latar mimpi dapat tak terbedakan dari
 yang ada di dunia nyata pemimpi, sebuah alat naratif yang membawahi 
pemimpi dan rasa kemamanan penonton (ibid) dan memungkinkan protagonis film horror, seperti dari Carrie (1976), Friday the 13th (1980) atau An American Werewolf in London (1981) untuk mendadak menyerang kekuatan gelap sementara ia berada di tempat yang tampaknya aman (Ibid). 
Dalam
 fiksi spekulatif, garis antara mimpi dan kenyataan dapat dikaburkan 
lebih jauh dalam cerita (Ibid). Mimpi dapat secara psikis diserang atau 
dimanipulasi (film Nightmare on Elm Street, 1984–1991) atau benar begitu saja (seperti dalam The Lathe of Heaven, 1971). Kisah demikian bermain pada pengalaman penonton dengan mimpi mereka sendiri, yang terasa nyata bagi mereka (Ibid).